Melestarikan Alam Indonesia Bagian IV
KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA:
KEBIJAKAN,
PEMANFAATAN DAN PELESTARIAN
Aprizon Putra, S.Pd, M.Si
Aspek Pemanfaatan
Dalam konteks pemanfaatan kekayaan
keanekaragaman hayati Indonesia, sayangnya terjadi ketidakseiringan kepentingan
antara sektor pemerintah, masyarakat dan swasta. Sebagai contoh, seringkali
terdengar adanya benturan kepentingan antara kepentingan sektor kehutanan,
pertanian, transmigrasi, juga sarana umum pada suatu wilayah. Pembenturan
kepentingan antar sektor di kawasan pelestarian tersebut ditemukan bahan
tambang seperti minyak, batubara, dan lain-lainnya. Pemanfaatan lahan untuk
kepentingan berbagai sektor secara langsung tidak selalu memperhitungkan akibat
pada keuntungan tak langsungnya (lingkungan hidup) untuk semua pihak. Memang
harus diakui bahwa keuntungan tak langsung ini sukar untuk segera dirasakan
manfaatnya, seperti berbagai manfaat tumbuhan sebagai pengatur air, tutupan
tanah, dan penjaga kualitas udara.
Aspek
Pelestarian
Usaha pelestarian di Indonesia telah
dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Konsep pelestarian itu sendiri
berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Tetapi pada kenyataannya, kepedulian
terhadap pelestarian Keanekaragaman hayati baru sebatas kalangan yang bertugas
menangani pelestarian-dan sebagian kecil kelompok masyarakat (Supriatna dan
Haeruman, 1995).
Sejak era otonomi bergulir, terjadi tumpang-tindih kewenangan dan
peraturan pusat dan daerah, antara sektor satu dan lainnya, antara kebutuhan
umum dan masyarakat tertentu di suatu lokasi. Menyadari hal ini pemerintah
(Bappenas) mulai mengembangkan konsep pengelolaan terpadu bagi pengembangan
kawasan pelestarian dan kawasan sekitarnya. Sebagai proyek perintis,
diluncurkanlah Proyek Pengembangan Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat
(TNKS), yang melibatkan tidak kurang dari empat provinsi (Sumatera Barat,
Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan). Bila berhasil, proyek ini akan menjadi
model pengelolaan kawasan konservasi yang terintegrasi baik secara
administratif kewilayahan maupun aspek peraturan perundang-undangan yang ada.
Kerusakan pada kawasan pelestarian, bidang pertanian merupakan sumber utama
pendapatan mereka. Peningkatan usahanya acap kali berorientasi pada
ekstensifikasi (perluasan) lahan garapan. Akibat tata batas yang tidak jelas
pada akhirnya ekstentifikasi itu bermuara pada perambahan hutan, termasuk hutan
konservasi. Hal ini jelas akan menimbulkan kerentanan bagi kawasan pelestarian.
Dalam konteks inilah, tata batas juga diperlukan untuk mereka yang menghasilkan
hasil hutan, baik untuk keperluan sendiri ataupun untuk memperoleh pendapatan.
Aspek Pengetahuan
Saat ini, konsep pemanfaatan
Keanekaragaman hayati Indonesia secara berlanjut atau lestari terus dikembangkan
dengan landasan ilmiah. Berbagai penelitian pun dilakukan secara meluas.
Sayangnya, belum terintegrasinya sistem perencanaan pengembangan di bidang ini
membuat hasil-hasil penelitian itu menjadi kurang bermanfaat bagi upaya
perumusan kebijakan nasional. Pada umumnya, dalam berbagai kegiatan di bidang
keanekaragaman hayati Indonesia, aspek sosial budaya masih kurang memperoleh
porsi yang seharusnya. Padahal aspek ini amat berperan pada pemilihan teknologi
yang perlu dikembangkan, baik dari segi pemanfaatan maupun segi pelestariannya.
Tidak bisa dipungkiri, eksplorasi aspek sosial budaya yang lebih mendalam akan
sangat membantu pada pelibatan berbagai kelompok masyarakat dalam kegiatan
pelestarian. Erat kaitannya dengan semakin meningkatnya peran informasi dalam
Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) kedua, maka sudah saatnya budaya
informasi ditumbuhkembangkan di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan setiap
kelompok dalam masyarakat siap menyambut era globalisasi. Salah satu yang
menjadi kepedulian global adalah menyusutnya keanekaragaman hayati tropik, yang
secara alami Indonesia merupakan salah satu pemilik terbesar keanekaragaman
hayati itu. Ketika informasi bahwa Negara-negara di daerah tropic harus
bertanggung jawab atas penyusutan tersebut sedang gencar-gencarnya dihembuskan,
hendaknya setiap kelompok pelaku pembangunan di Indonesia tidak terbawa
gelombang arus pemikiran semacam itu.
Aspek Kebijakan
Kenyataan bahwa kebijakan pemanfaatan
dan pelestarian sebagai besar keanekaragaman hayati Indonesia berada di tangan
yang sama merupakan sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Dengan cara ini
beralihnya kepentingan dari aspek pemanfaatan ke aspek pelestarian sejatinya
tidak memerlukan kesepakatan pihak lain, meskipun strategi pemanfaatan dan
pelestarian telah dikembangkan di sektor yang bersangkutan sesuai dengan
kewenangan yang diberikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, unsur pemantauan
oleh pihak di luar sektor ini amat diperlukan. Sebenarnya pemanfaatan dari segi administatif sudah mapan dan
terus berkembang kearah positif. Namun demikian, kemantapan pemantauan dari
segi administrasi ini juga dukungan pemantauan lapangan dari segi teknis dan
ilmiah. Bila tatanan pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia akan di
tingkatkan dalam beberapa waktu mendatang, maka pengawasan yang melekat perlu
segera dilaksanakan. Implikasi setiap petugas yang berhubungan dengan
penanganan pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia, yang
mampu melaksanakan tugas tanpa harus menunggu petunjuk dari atasan. Jalan lain
yang perlu dikaji untuk menyempurnakan pengelolaan keanekaragaman hayati
Indonesia adalah penataan kelembagaan. Konsekuensi dari setiap kebijakan pun
yang akan ditempuh adalah adanya dukungan sistem kelembagaan yang sesuai dan memadai.
Sumber: Supriatna, J. 1999. Review on Indonesia Biodiversity
Conservation: Problems, Strategy and it`s Future Outlook. Paper presented at
the Seminar on Biodiversity Conservation in the Asia Pacific Region. East
West Center, Honolulu, Hawai, 15-17 September.
Komentar